
Tentang secangkir kopi yang menyokong ke hampaan yang nyata
Di sudut waktu yang tak bernama, aku duduk bersama bayangku sendiri menyeruput sunyi dari cangkir yang retak, mengobrol dengan angin tentang hal-hal yang tak pernah tumbuh. Hari-hari berulang seperti gema tak bertuan, langkahku berat bukan karena beban, melainkan karena tiadanya tujuan. Di meja ini, segala percakapan menguap, tanpa jejak, tanpa makna, seperti asap kopi yang melayang ke langit yang tak peduli.
Apakah ini hidup, rangkaian gerak tanpa arah, putaran jam yang menertawai makhluk bernama aku, Apakah jiwa dicipta hanya untuk bersandar pada kursi kusam dan waktu yang membatu, Aku mencari Tuhan dalam percakapan, menanti hikmah dalam tegukan yang hampa, tapi yang kutemui hanya gema tawa yang tak mampu menutupi kekosongan dalam dada.
Adakah jalan keluar dari lingkar ini, di mana makna seperti oase palsu di padang rutinitas, Ataukah inilah neraka kecil yang dicipta manusia sendiri, bernama kenyamanan, Kawan, telah kucoba menjadi batu yang sabar di tepian, namun bahkan batu pun rindu mengalir. Telah kucoba menjadi kabut, tapi kabut pun tak tahan mengambang tanpa arah, tanpa hujan.
Wahai hidup, ajari aku menjadi api, yang membakar bukan hanya untuk hangat, tetapi untuk menghidupkan. Ajari aku menjadi kata, yang meski pendek, meninggalkan jejak dalam jiwa yang luka.
Sebab aku bukan bayang, bukan kursi, bukan kopi, bukan tawa tanpa nyawa. Aku adalah tanya, yang menuntut jawaban lebih dari sekadar hari yang berlalu. Aku adalah makna yang menolak tenggelam dalam laut hal-hal yang tak berarti. Dan jika aku harus diam hari ini, biarlah diamku jadi ladang, yang suatu hari akan tumbuh menjadi hikmah yang berbunga di ujung sunyi.
Memberi yang terbaik untuk yang terbaik, Marilmu Dot Marepeng - Semua dimulai dari 1 dan semua tentang pilihan anda.
Ahmad ismail al malik